PENGARUH BUDAYA HINDU-BUDDHA DI
INDONESIA
Pengaruh agama dan kebudayaan
Hindu-Buddha dari India atas agama dan kebudayaan Indonesia sangat kuat. Hal
ini dapat dilihat dari akulturasi agama dan budaya Indonesia Hindu-Buddha di
berbagai bidang.
Istilah yang tepat untuk menyebut pengaruh agama dan budaya Hindu-Buddha pada
budaya Indonesia menurut Prof. Dr.
F. D. K. Bosch disebut fecundation (penyuburan), yaitu penyuburan budaya
Indonesia oleh budaya Hindu-Buddha. Kenyataan menunjukkan bahwa budaya
Hindu-Buddha tidak menghilangkan budaya asli Indonesia. Oleh orang Indonesia,
budaya Hindu-Buddha dimodifikasi sesuai dengan keadaan masyarakat.
1.
Pengaruh
di Bidang Bahasa dan Aksara
Sebelum masuknya pengaruh budaya India (Hindu-Buddha),
penduduk Nusantara telah menggunakan bahasa daerah/lokak seperti bahasa Jawa
Kuno dan melayu Kuno. Bahasa Melayu Kuno (disebut juga bahasa Melayu
Austronesia) dipakai sebagai bahasa pergaulan (lingua franca) oleh sebagian besar penduduk Indonesia.
Berdasarkan penelitian H. Kern atas basic vocabulary
bahasa-bahasa yang dipakai oleh masyarakat penghuni Kepulauan Nusantara, dapat
disimpulkan bahwa bahasa tersebut termasuk rumpun bahasa Melayu Polinesia,
suatu rumpun nahasa yang mempunyai daerah persebaran dari Kepulauan Austronesia
sampai Polinesia.
Dengan datangnya pengaruh budaya India, maka dipergunakan
bahasa India, terutama bahasa Sanskerta dan bahasa Pali. Walaupun demikian,
tidak berarti bahwa bahasa Nusantara menjadi tersisih dan punah. Bahasa Jawa
Kuno dan bahasa Melayu Kuno tetap dipakai, bahkan nantinya diperkaya dengan
istilah-istilah dari bahasa Sanskerta.
Dalam bidang aksara, jika semula penduduk Nusantara masih
“buta aksara”, dengan datangnya pengaruh dari India, penduduk Nusantara menjadi
melek aksara dengan dikenalnya aksara Pallawa
dan aksara Nagari (atau disebut juga
siddham). Tidak puas hanya menggunakan aksara asing, akhirnya para empu
Nusantara menciptakan aksara baru yang disebut aksara kawi (ada juga yang menyebutnya aksara Jawa Kuno).
2.
Pengaruh
di Bidang Sosial dan Sistem Pemerintah
Sebelum kedatangan pengaruh budaya India, sistem
masyarakat di Nusantara diatur dan dibedakan berdasarkan profesi, petani,
perajin, peramu, dan lain-lain. Dengan datangnya pengaruh budaya India, sistem
masyarakat diubah, ditata berdasarkan sistem caturwarna: brahmana, ksatria,
waisya, dan sudra walaupun dalam praktiknya tidak dilakukan pembedaan secara
ketat.
Pada pucuk sistem masyarakat Nusantara sebelum datangnya
pengaruh budaya India terdapat pemimpin: Ketua Suku, Ketua Adat dengan gelar
Datu/Datuk, Ratu dan Raka. Sejak datangnya pengaruh budaya India para Datu/Ratu
berganti gelar Raja/Maharaja, walaupun posisinya tidak berubah, tetap sebagai
pucuk pimpinan dalam pemerintahan.
Para dukun yang menjadi penasihat para Datu/Ratu, walaupun
bergelar brahmana, posisinya tetap di bawah raja, rakyat merdeka tetap sebagai
waisya, dan para budak tetap juga dalam posisinya sebagai sudra.
3.
Pengaruh
di Bidang Teknologi Bangunan
Sebelum datangnya pengaruh budaya India, masyarakat
Nusantara membangun monument “punden berundak” sebagai sarana untuk pemujaan
kepada roh nenek moyang. Dengan datangnya pengaruh budaya India di bidang agama
dengan pemujaan kepada dewa/Bodisatwa di Nusantara dikenal teknologi pembuatan
bangunan suci yang disebut candi,
pertirtaan, dan stupa.
Mula-mula bangunan candi sebagai tempat pemujaan kepada
dewa dibangun sesuai dengan aturan dalam Kitab
Silpasastra, bangunan utama berada di tengah-tengah percandian. Tetapi
ketika pemujaan kepada leluhur tampil kembali dalam kepercayaan, dalam candi
pun menyesuaikan diri, kembali ke bangunan punden berundak, bangunan utama
berada di bagian belakang, dan bangunan candi terlihat bertingkat-tingkat. Hal
ini terlihat pada bangunan candi di Jawa Timur. Bangunan candi mengalami akulturasi
teknologi candi dengan bangunan punden berundak.
4.
Pengaruh
di Bidang Agama
Sebelum mendapat pengaruh agama-agama dari India,
penduduk Nusantara telah memiliki kepercayaan animism, dinamisme, animatisme, totemisme, dan fetimisme.
a. Animisme : keyakinan adanya berbagai roh yang
menempati alam sekeliling
tempat tinggalnya. Tingkat tertinggi dari
animisme ialah pemujaan
kepada roh para leluhur.
b. Dinamisme : kepercayaan tentang adanya kekuatan gaib
yang luar biasa pada
benda-benda tertentu seperti rambut, kepala, batu akik, dan lain-
lain.
c. Animatisme : kepercayaan bahwa benda/pohon tertentu
berjiwa dan berpikir
seperti manusia. Contohnya keris, pohon beringin, dan lain-lain.
d. Totemisme : kepercayaan kepada binatang sebagai
lambang nenek moyang.
e. Fetimisme : kepercayaan adanya jiwa dalam benda-benda
tertentu.
Dengan masuknya budaya India, penduduk Nusantara secara
berangsur-angsur memeluk agama Hindu dan Buddha diawali dengan lapisan elite
para Datu dan keluarganya. Walaupun demikian, lapisan bawah terutama di
pedesaan masih banyak yang tetap menganut kepercayaan asli berupa pemujaan
kepada nenek moyang.
Dalam perkembangan terakhir, agama Hindu dan agama Buddha
berpadu menjadi agama Siwa Buddha. Bahkan agama campuran ini masih diwarnai
dengan kepercayaan-kepercayaan asli Nusantara. Bukti pendukung tentang
akulturasi agama ini dapat dilihat pada hal-hal sebagai berikut.
a. Dimasukkannya
“dewa dewi” asli Nusantara dalam susunan para dewa Hindu, yaitu Sang Hyang
Tunggal dan Sang Hyang Wenang, justru sebagai nenek moyang para dewa.
b. Dalam
sastra Sunda abad IX-XV M pada Kitab Sang Hyang Siksakandang Karesian tertulis
“. . . Mangkubhumi bhakti di Ratu, Ratu
bhakti di Dewata, Dewata bhakti di Hyang” (Perdana Menteri patuh kepada
Raja, Raja patuh kepada Dewa, Dewa patuh kepada Hyang)
5.
Pengaruh
di Bidang Seni (Arca, Relief, Sastra, Musik, dan Wayang)
a.
Arca
Penduduk Nusantara sebelum mendapat pengaruh budaya dari
India, sudah membuat arca perwujudan nenek moyang. Banyak arca leluhur yang
ditemukan di Kabuyutan Lebak Sibedug (Jawa Barat), serta arca Tadulako (nenek
moyang) di Sulawesi Tengah. Arca-arca ini dibuat secara kasar dan tidak terlalu
mementingkan anatomi.
Bangsa Indonesia belajar membuat arca dewa dari budaya
India. Arca Nusantara yang sederhana dikembangkan menjadi seni arca yang secara
kualitas lebih baik, tetapi arca yang tampil adalah arca dewa/perwujudan raja
yang “hidup”. Pembuatan araca yang dinamis ini berlangsung sampai dengan zaman
Tumapel-Singasari.
Sejak zaman Tumapel-Singasari sampai zaman Majapahit,
arca Nusantara walaupun tetap seindah sebelumnya, sudah tampil beda, kaku seperti mayat. Tahapan ini menandai
tampilnya kembali seni arca prasejarah berkaitan dengan pemujaan para leluhur.
Terjadilah akulturasi seni arca, arca dari para dewa tetapi dengan penampilan
kaku seperti mayat karena sekaligus menggambarkan leluhur yang sudah di alam
surga.
b.
Relief
Dengan datangnya pengaruh seni relief dari India, relief
yang terpahat pada candi-candi tampil sebagai relief tinggi yang khas
Nusantara, menggambarkan suasana surga Nusantara (bukan gambaran versi India).
Sejak zaman Tumapel-Singasari tampil gaya yang berbeda yaitu lebih menampilkan
seni relief Nusantara asli yaitu relief wayang yang dipahat sebagai relief
rendah.
c.
Sastra
Sebelum
masuknya pengaruh India, Sastra Nusantara berupa sastra lisan.
(1) Perkembangan
Seni Sastra
Dengan
masuknya pengaruh sastra dari India terjadi perkembangan sebagai berikut.
- Sejak zaman mataram sampai dengan
zaman Majapahit awal dikenal sastra tembang yang disebut kakawin (ka-kawi-an).
- Memasuki zaman Majapahit pertengahan
irama kakawin digeser oleh irama kidung.
(2) Karya
Sastra Pengaruh Budaya India
Hasil
karya sastra Nusantara akibat pengaruh budaya India sebagai berikut.
-
Zaman Mataram Kuno
a) Ramayana
Kakawin (abad IX M)
b) Bagian-bagian
Mahabharata (abad X M), karya Wyasa
-
Zaman Kediri
a) Arjunawiwaha
Kakawin, karya Mpu Kanwa
b) Kresnaya
Kakawin, karya Mpu Triguna
c) Sumanasontaka
Kakawin, karya Mpu Monaguna
d) Smaradhahana
Kakawin, karya Mpu Dharmaja
e) Bharatayudha
Kakawin, karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh
f) Gatotkacasraya
Kakawin, karya Mpu Panuluh
g) Wartasancaya
Kakawin, karya Mpu tanakung
-
Zaman Majapahit Awal
a) Negarakertagama,
karya Mpu Prapanca
b) Sutasoma,
karya Mpu Tantular
-
Zaman Majapahit Akhir
a) Tamtu
Panggelaran
b) Calon
Arang
c) Bubuksah
d) Pararaton
e) Ranggalawe
f) Sondaraka,
dan lain-lain
d.
Musik
Sebelum kedatangan pengaruh India bangsa Indonesia sudah
memiliki tradisi musik yang tinggi. Pada
saat itu, alat musik yang berkembang antara lain nekara, kendang, kecer, dan kemanak.
Masuknya pengaruh India menyebabkan penambahan beberapa alat musik,
diantaranya: vina (gitar bersenar
tiga) dan harpa.
e.
Wayang
Budaya India juga berpengaruh pada wayang. Wayang dan
musiknya (gamelan) merupakan kebudayaan asli dari Nusantara berkaitan dengan
pemujaan kepada roh para leluhur. Namun, budaya India memperkaya wayang dengan
menyumbangkan bahan cerita, yaitu dari epos Mahabharata dan Ramayana. Jadi,
wayang dan gamelannya merupakan asli Nusantara sedangkan cerita yang
dimainkannya berasal dari India. Dalam wayang terdapat pula aspek politik yaitu
penyampaian kritik-kritik sosial. Wayang juga dapat digunakan sebagai wadah
penyampaian hal-hal baru yang tidak dapat dimasukkan secara langsung.
6.
Pengaruh
di Bidang Kalender
Sebelum datangnya pengaruh budaya dari India, Nusantara
sudah mengenal kalender dengan perhitungan satu pekan terdiri dari atas 5 dan 7
hari dipakai bersama, setahun dibagi atas 10 bulan serta perhitungan pakuwon.
Dengn datangnya kalender versi India, kedua kalender ini dipadukan menjadi
kalender Saka yang dilengkapi dengan hari pasaran (Pon, Wage, Kliwon, Legi, dan
Pahing), serta wuku dan paringkelan.
7.
Filsafat
Sebelum datangnya pengaruh dari India, konsep tentang
dewa dan jalan menuju ke surga masih jauh dari jangkauan pemikiran bangsa
Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, surga adalah dunia orang mati, atau alam roh
yang dapat dicapai oleh siapapun asalkan hidupnya di dunia yang baik dan
upacara penguburannya diadakan dengan benar disertai doa sebagai bekal dalam
kubur. Pemikiran filsafat tentang karma, semadi, diperkaya dengan filsafat samkya yang dualitis atheistis maupun wedhanta
yang pantheistis, ditambah laku semadi, dhyana, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar